Sebenarnya Suistainable Development Goals (SDGs) masih belum belum banyak yang mengerti. Termasuk saya juga demikian. Setelah membaca literasi yang ada, saya mengambil kesimpulan bahwa itu adalah sebuah proyek besar PBB yang berkelanjutan untuk pembangunan kemaslahatan manusia. Saya tersenyum tak habis pikir, karena saya merasa ini sudah tak asing lagi di Negara kita. Mulai dari jaman Presiden Soeharto hingga kini, kita sudah mengenal banyak “embel-embel” program pembangunan. Jadi, secara definisi sama, namun terlihat susah karena tidak memakai bahasa kita. Tahu kan maksud saya ?. Jika masih belum paham, sana minta ajarin mahasiswa !.
Suistainable Development Goals harusnya jadi prioritas bangsa kita. Proyek ini bukan proyek yang bisa dikerjakan oleh Bandung Bondowoso. Dengan mengucap “Abra Kadabra, Wuss” Semuanya bisa lancar terkendali. Proyek ini butuh perhatian seluruh elemen bangsa. Gak mungkin bisa mengerjakan hal besar tanpa ada proses dan kerjasama yang nyata. Ya, itu maksud saya. Semua elemen, dan ada pemuda didalamnya. Siapa sih yang gak tahu kekuatan seorang pemuda ? Apalagi pada 2045 ini diperkirakan total dari penduduk Indonesia terdapat sekitar 70 % dalam usia produktif atau bisa dikata masih usia muda (15-40 tahun). Presiden Soekarno saja pernah berkata demikian :
“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”
Dari pernyataan bapak Soekarno tersebut, sudah tak diragukan lagi bahwa pemuda memliki peran utama dalam regenerasi pembangunan bangsa, khususnya mahasiswa. Mahasiswa bisa dibilang pemuda yang beruntung bisa menempuh pendidikan di tingkat perguruan tinggi. Untuk itu perlukah kita bersyukur dan berbangga saja teman ?. Tentu saja tidak. Superhero saja tidak pernah berbangga atas kekuatannya, kita pun seharusnya juga sama, karena kita ibarat superhero tanpa “pegang senjata”. Dalam perspektif saya, banyak hal yang bisa dilakukan mahasiswa. Dari hal yang paling sederhana maupun yang bisa dibilang kompleks. Mulai dari yang kita bisa dan sederhana tak masalah. Apalagi tindakan itu dimulai dari kesadaran masing-masing individu. Kontribusi inilah yang bisa mendukung pembangunan masyarakat dunia, khususnya pembangunan Bangsa kita.
Ajari adik dan tetanggamu dengan ilmu yang sudah kau pelajari
Tentunya kita sebagai pelajar, pasti kita pernah menerima semacam bentuk kepedulian dari orang disekitar kita. Mulai dari kakak, adik, bahkan tetangga. Hal tersebut berdasarkan pengalaman saya pribadi dan saya yakin anda juga merasakan hal yang sama. Untuk itu sudah saatnya untuk memberi perhatian pada mereka. Jika dalam Hukum Newton terdapat istilah aksi sama dengan reaksi, maka bentuk reaksi tersebut haruslah dilakukan sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat dan sesuai kemampuan kita. Apa contohnya ?. Salah satunya adalah membagikan apa yang kita ketahui kepada masyarakat sekitar kita.
Mari saya ajak anda semua memahami keadaan kampung saya. Cerita ini bermula dari putra penjual toko yang bisa dibilang butuh bantuan orang seperti kita. Putra penjual toko tersebut bukanlah bocah SD yang nakal, namun terkadang menyusahkan. Pada malam harinya saya membeli beberapa makanan ringan untuk menemani seorang “bujangan” pengejar deadline laporan. Tanpa sengaja terdengar oleh saya bahwa anak tersebut tidak lulus kelas berulang kali. Entah apa penyebabnya, namun saya baru memahami kondisinya setelah membeli makanan ringan tersebut. Ayahnya berkata “Mas bisa nggak Dimas mampir ke rumah, minta ajari sampean, PR IPA sama Bahasa Inggrisnya nya susah sekali katanya”, sambal saya liat anak tersebut duduk membaca bukunya. Lantas setelah sedikit berdialog dan saya menyanggupinya. Namun entah tanpa kejelasan bocah SD tersebut tidak dating hingga larut malam yang membuat saya agak kesal juga prihatin. Sekilas saya berpikir, jika dikampung saya yang notabene terdapat banyak sekolah dan les privat menjamur, lalu apa yang terjadi di daerah yang masih belum semaju daerah saya ?.
Dari cerita tadi, menunjukkan bahwa mereka butuh kalian wahai mahasiswa Indonesia. Terlepas dari siapapun kita, apapun jurusan dan bidang kita. Ajari mereka dengan ilmu yang telah kau dapat. Walau itu terlihat sederhana, namun kalian akan merasa jadi orang yang berguna bagi sesama. Jangan sampai keadaan sekitar kita menjadi bodoh sendiri pintar juga sendiri-sendiri.
Jangan suka mager dan bubuk cantik
Siapa yang tidak pernah mengalami hal demikian ?. Apalagi generasi kita yang hampir semuanya bisa dilakukan secara online. Sampai sampai ada sebutan “ngakak online” di media sosial. Sungguh miris memang jika kita bandingkan kita sekarang dengan kita yang dulu. Dari pengamatan saya pribadi, sesorang lebih malas menggerakkan kaki daripada menggerakkan jari. Saya pun mungkin bisa tergolong orang yang demikian. Apalagi sekarang telah menjamur usaha antar makanan online, tak perlu payah berjalan ke warung makanan, tinggal pencet ini itu, makanan pun sampai. Dalam keseharian kita, kegiatan online sering kali identik dengan penggunaan smartphone. Hal ini dibuktikan dari hasil survey Google yang menyatakan bahwa 86 % orang Indonesia mengakses internet dari smartphone. Itulah tepat sekali mengapa budaya “mager” erat sekali dikaitkan dengan kaum milenial, khususnya mahasiswa. Hal ini sangat merugikan terutama pada masalah kesehatan fisik kita. Berikut poin-poin masalah dan solusi yang bisa diperjelas pada daftar berikut ini.
1. Kemajuan teknologi bukan alasan penyebab mager
Banyak orang berasumsi kemajuan teknologi akan mengikis pola hidup sehat kita. Banyak opini dari ibu saya, bahwa mengapa masyarakat terdahu terlihat sehat dibanding sekarang. Diantaranya adalah mereka tidak “manja” dengan kondisi yang serba sederhana dan masih kuno. Pergi ke sekolah beberapa kilometer jaraknya paling “enak” adalah naik sepeda dan itupun masih mengayuh dan berpeluh keringat. Bandingkan orang sekarang yang naik sepeda motor hanya untuk jarak 200 meter. Tapi menurut saya budaya mager bukan karena teknologi, melainkan teknologi lahir karena adanya rasa “mager” itu sendiri. Apakah anda pernah berpikir mengapa sepeda motor, Smartphone, dan mesin cuci diciptakan ?.
Jadi intinya disini saya mengajak pembaca untuk bijak menyikapi kemajuan teknologi agar penggunaanya lebih efisien dan tidak timbul dampak negatif. Jangan sampai dengan adanya kemajuan teknologi, bukannya kita yang memanfaatkan teknologi, malah kita yang termanfaatkan olehnya.
2. Mager penyebab merosotnya produktifitas dan prestasi
Sudah jelas sekali bahwa mager itu tidak ada manfaatnya sama sekali dalam urusan akademik kita. Mulai dari tugas terlambat dan seadanya, sering membuang waktu produktif untuk tidur, dan masih banyak lagi. Mungkin kalian bisa menambahkan. Pengalaman saya sendiri. Banyak hal yang saya rasakan ketika saya bermalas malasan atau mager. Saya sering kali terlambat dan berurusan di kantor dosen, tertidur dan tidak mengikuti ujian akhir praktikum mata kuliah, dan banyak cerita menyedihkan lainnya. Itu karena apa ?. Ya tidak lain karena rasa mager kalian. Mungkin sedikit saran dari pengalaman saya. Hal ampuh atasi mager adalah tetapkan targetmu setiap harinya. Dengan begitu nantinya kita akan selalu tersugesti melakukan sesuatu untuk memaksimalkan waktu yang ada. Kemudian, jika pekerjaan belum selesai sepenuhnya, jangan pernah mendekati area kamar tidur.
3. Mager penyebab penyakit dan masalah sosial
Kalau ini saya kurang yakin teman teman menganggap serius atau tidak. Selama pilek dan flu itu termasuk penyakit, pasti kalian ini hanyalah menganggap ini adalah sebuah pikiran idealis yang tidak terlalu penting. Penting untuk kalian ketahui, bahwa mager itu menyebabkan penyakit berbahaya. Diantaranya obesitas, penyakit jantung, tulang keropos, dan stress.
Selain itu mager ini bisa menyebabkan masalah sosial. Kecenderungan orang yang suka mager adalah pergaulannya terhadap orang di sekitar jadi berkurang dan ini menimbulkan gejala anti sosial yang nantinya mengganggu perkembangan komunikasi dan adaptasinya di lingkungan masyarakat.
Teman-teman mahasiswa, setelah pemaparan dari dampak buruk mager. Apa iya kalian tetap mager untuk seterusnya. Kalian masih muda, dengan kualitas jasmani dan rohani yang masih terjaga. Jadi ayo olahraga, jangan jadi orang penghuni kamar saja.
Ingat ! mahasiswa harus kreatif
Mahasiswa masa gak ada inisiatifnya ?. Itulah ucapan yang saya kutip ketika saya menjadi mahasiswa di semester pertama. Kita mengenal yang namanya peran fungsi mahasiswa. Salah satunya adalah agent of change atau agen perubahan. Jadi disini kita dihadapkan tentang perubahan, berubah kearah lebih baik. Apa yang mendasari perubahan itu ?. Menurut saya salah satunya adalah kreatfitas. Ya, mahasiswa harus kreatif. Mahasiswa harus bisa membuat terobosan terobosan di berbagai bidang. Mulai dari bidang politik, bidang teknik, bidang sosial kemasyarakatan, dan lain-lain. Saat ini kita dihadapkan pada banyak masalah sehingga hal tersebut membuat kemajuan terhambat. Masalah kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan mungkin sudah tak asing lagi bagi kita khususnya orang yang hidup di Negeri ini. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Pada bulan Maret 2018, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 25,95 juta orang (9,82 persen). Jika kita analisa, kemiskinan yang ada saat ini pastinya berbanding lurus dengan pengangguran. Lalu apa ?. Mahasiswa seharusnya mampu menjadi solusi dengan ide – ide kreatifnya. Mereka yang berani mencari keuntungan bagi dirinya dan memberi kesempatan untuk orang di sekitarnya. Mahasiswa harus mempunyai mental pengusaha. yang selalu berpikir kreatif, inovatif, dan jangka panjang. Banyak kisah sukses orang ternama yang merintis kesempatan berwirausaha ketika mereka menjadi mahasiswa. Dengan ide kreatif dan tak kenal lelah, akhirnya mereka mungkin melampaui apa yang mereka inginkan.
***
Teman-teman mahasiswa, Bangsa Indonesia sangat bergantung pada kalian. Bayangkan jika kita bisa menjadi negara maju lebih cepat dari tahun 2045 yang sudah “viral” dimana mana. Indonesia bisa lolos piala dunia. Indonesia bisa berkontribusi banyak terhadap perdamaian dunia, khususnya dengan saudara kita di Palestina. Seharusnya kita tak perlu membuang tenaga kita untuk mengkritik anggota dewan, memberi kartu kuning presiden, dan unjuk rasa berlebihan hingga menimbulkan korban. Cukup kita sendiri saja. Sudah layak kah kita mendukung program “dunia” tersebut. Sebagai penulis saya mungkin mencoba menerapkan seperti apa yang saya tulis. Jika kalian tak keberatan, lakukanlah mulai sekarang.
Comments